Penerbit PUSAD Paramadina
Penulis Samsu Rizal Panggabean, Ihsan Ali-Fauzi, Rudy Harisyah Alam, Titik
Firawati, Husni Mubarok, Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi
Halaman vii + 368 hlm.
Cetakan I, 2014
Tahun Terbit 2014
ISBN 978-979-772-042-1
Buku ini berawal dari
riset mengenai pemolisian konflik-konflik agama di Indonesia pasca-Orde Baru.
Konflik-konflik agama di sini dikhususkan dalam dua bentuknya yang paling
menonjol beberapa tahun terakhir, yakni konflik sektarian (intra-agama), yang
diakibatkan oleh sikap anti-Ahmadiyah dan anti-Syiah, dan konflik terkait
tempat ibadat (antar-agama).
Ada perkembangan yang
patut disyukuri tapi juga disayangkan dalam pengelolaan kehidupan keagamaan di
Indonesia pasca-Orde Baru. Di satu sisi, kekerasan kolektif antar-agama,
seperti yang terjadi di Ambon, Maluku Utara, dan Poso (Sulawesi Tengah) sudah
berhenti sejak sekitar sepuluh tahun lalu. Namun, di sisi lain, beberapa
laporan menunjukkan peningkatan insiden konflik antar-agama, khususnya terkait
rumah ibadat, dan konflik sektarian intra-agama (Islam), khususnya terkait
Jamaah Ahmadiah Indonesia (JAI) dan komunitas Syiah.
Meski cukup sering
dibicarakan, masalah di atas jarang sekali ditinjau dari sisi pemolisian. Buku
ini mencoba membahasnya, dengan dua pertanyaan utama. Pertama, mengapa
pemolisian insiden konflik sektarian dan tempat ibadah tidak efektif pada
kasus-kasus tertentu dan efektif pada kasus-kasus lainnya? Dan kedua, apa yang
menjelaskan variasi dalam keberhasilan dan kegagalan pemolisian di atas?
Buku ini tidak melihat
polisi sebagai pihak yang berdiri otonom, melainkan menempatkannya sebagai
bagian dari pemerintah (“birokrat pada tingkat-bawah”), di satu sisi, dan pihak
yang “mencerminkan masyarakat di mana mereka bertugas”, di sisi lain. Dengan
tilikan itu dan memanfaatkan sumber-sumber primer, buku ini mengungkap
pemolisian konflik agama di delapan kasus: dua kasus anti-Ahmadiyah (Manis Lor,
Cirebon, dan Cikeusik, Banten), dua kasus Sunni-Syiah (Bangil, Pasuruan, dan
Sampang, Madura), dua kasus terkait gereja (HKBP Filadelfia, Bekasi, dan GKI
Yasmin, Bogor), dan dua kasus sengketa masjid (Nur Musafir di Batuplat, Kupang,
dan Abdurrahman di Wolobheto, Ende).
Buku ini penting dibaca bukan saja oleh polisi, tetapi juga oleh
pemerintah, pemimpin organisasi agama, pegiat organisasi masyarakat sipil,
pengelola media massa, dan pihak-pihak lainnya. Agar sengketa terkait agama
tidak berujung pada kekerasan, polisi memerlukan kemitraan dari semua pihak.
0 komentar:
Posting Komentar